Pagi itu, walaupun langit telah menguning, burung-burung gurun enggan mengepakkan sayap.
Pagi itu, Rasulullah dengan suara terbatas memberikan khutbah, "Wahai umatku.. Kita semua ada dalam kekuasaan Allah dan cinta kasih-Nya. Maka taati dan betaqwalah kepada-Nya."
"Kuwariskan dua perkara kepada kalian; Al Qur'an dan sunnahku.."
"Barang siapa mencintai sunnahku, bererti mencintai aku dan kelak orang-orang yang mencintaiku akan masuk syurga bersama-sama aku.."
Khutbah singkat itu diakhiri dengan pandangan mata Rasulullah yang tenang dan penuh minat menatap sahabatnya satu persatu.
Abu Bakar menatap mata itu dengan berkaca-kaca.
Umar dadanya naik turun menahan nafas dan tangisnya.
Usman menghela nafas panjang.
Ali menundukkan kepalanya dalam-dalam.
Isyarat itu telah datang. Saatnya sudah tiba.
"Rasulullah akan meninggalkan kita semua," keluh hati semua sahabat kala itu. Manusia tercinta itu, hampir selesai menunaikan tugasnya di dunia.
Tanda-tanda itu semakin kuat.
Ali dan Fadhal dengan cergas menangkap Rasulullah yang berkeadaan lemah dan goyah ketika turun dari mimbar. Di saat itu, kalau mampu, seluruh sahabat yang hadir di sana pasti akan menahan detik-detik yang berlalu.
***
Matahari kian tinggi, tapi pintu rumah Rasulullah masih tertutup. Sedang di dalamnya, Rasulullah sedang terbaring lemah dengan keningnya yang berkeringat dan membasahi pelepah kurma yang menjadi alas tidurnya.
Tiba-tiba dari luar pintu terdengar seorang yang berseru mengucapkan salam.
"Bolehkah saya masuk?" tanyanya.
Tapi Fatimah tidak mengizinkannya masuk. "Maaflah, ayahku sedang demam," kata Fatimah yang membalikkan badan dan menutup daun pintu. Kemudian dia kembali menemani ayahnya yang ternyata sedah membuka mata dan bertanya pada Fatimah,
"Siapakah itu wahai anakku?"
"Tak tahulah ayahku, orangnya seperti baru sekali ini aku melihatnya," tutur Fatimah lembut.
Lalu Rasululah menatap puterinya itu dengan pandangan yang menggetarkan. Seolah-olah bahagian demi bahagian wajah anaknya itu hendak dikenang.
"Ketahuilah, dialah yang menghapuskan kenikmatan sementara, dialah yang memisahkan pertemuan di dunia. Dialah malakul maut," kata Rasulullah.
Fatimah menahan ledakan tangisnya.
Malaikat maut datang menghampiri, tapi Rasulullah menanyakan kenapa Jibril tidak ikut sama menyertainya.
Kemudian dipanggillah Jibril yang sebelumnya sudah bersiap di atas langit dunia menyambut ruh kekasih Allah dan penghulu dunia ini.
"Jibril, jelaskan apa hakku nanti di hadapan Allah?" tanya Rasulullah dengan suara yang amat lemah.
"Pintu-pintu langit telah terbuka, para malaikat telah menanti ruhmu. Semua syurga terbuka lebar menanti kedatanganmu," kata Jibril.
Tapi itu ternyata tidak membuatkan Rasulullah lega. Matanya masih penuh kecemasan.
"Engkau tidak senang mendengar khabar ini?" tanya Jibril lagi.
"Khabarkan kepadaku, bagaimana nasib umatku kelak?" tanya Rasulullah.
"Jangan khuatir wahai Rasul Allah, aku pernah mendengar Allah berfirman kepadaku: 'Kuharamkan syurga bagi siapa saja, kecuali umat Muhammad telah berada di dalamnya'," kata Jibril.
Detik-detik semakin dekat, saatnya Izrail melakukan tugas. Perlahan ruh Rasulullah ditarik. Nampak seluruh tubuh Rasulullah bersimbah peluh, urat-urat lehernya menegang.
"Jibril, betapa sakitnya sakaratul maut ini," perlahan Rasulullah mengaduh.
Fatimah terpejam, Ali yang di sampingnya menunduk semakin dalam dan Jibril memalingkan muka.
"Jijikkah kau melihatku, hingga kau memalingkan wajahmu Jibril?" tanya Rasulullah kepada Malaikat pengantar wahyu itu.
"Siapakah yang sanggup melihat kekasih Allah direnggut ajal," kata Jibril.
Sebentar kemudian terdengar Rasulullah memekik, kerana sakit yang tidak tertahankan lagi. "Ya Allah!! Dahsyat nian maut ini. Timpakan saja semua siksa maut ini kepadaku, jangan pada umatku."
Badan Rasulullah mulai dingin, kaki dan dadanya sudah tidak bergerak lagi. Bibirnya bergetar seakan hendak membisikkan sesuatu. Ali segera mendekatkan telinganya.
"Uushiikum bis shalati, wa maa malakat aimaanuku (peliharalah solat, dan peliharalah orang-orang lemah di antaramu)."
Di luar pintu tangis mulai terdengar bersahutan, sahabat saling berpelukan.
Fatimah menutupkan tangan di wajahnya, dan Ali kembali mendekatkan telinganya ke bibir Rasulullah yang mulai kebiruan.
"Ummatii.. Ummatii.. Ummatii.."